pemikiran yg jernih akan menghasilkan sebuah karya seni yg membuat kita bahkan tak percaya kalau itu karya kita jadi semangatkan dirimu untuk berfikir yang jernih

Minggu, 11 November 2012

tumor paru



TUMOR PARU

1. Definisi
Karsinoma Bronkogenik adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran nafas.
Di dalam kepustakaan selalu di laporkan peningkatan insiden kanker paru secara progresif, yang bukan hanya sebagai akibat peningkatan umur rata-rata manusia serta kemampuan diagnostik yang lebih baik namun oleh karena memang karsinoma bronkogenik lebih sering terjadi (Pengatar Ilmu Penyakit paru).

2. Etiologi
Seperti kanker pada umumnya, etiologi yang pasti dari karsinoma bronkogenik masih belum diketahui, namun diperkirakan bahwa inhalasi jangka panjang dari bahan karsinogenik merupakan faktor utama, tanpa mengesampingkan kemungkinan peranan predisposisi hubungan keluarga ataupun suku bangsa/ras serta status immunologis. Bahan inhalasi karsinogenik yang banyak disorot adalah rokok.
Pengaruh rokok:
Bahan-bahan karsinogenik dalam asap rokok adalah antara lain : polomium 210 dan 3,4 benzypyrene. Penggunaan filter dikatakan dapat menurunkan resiko terkenanya karsinoma bronkogenik, namun masih tetap lebih tinggi dibanding dengan bukan perokok.
Didalam jangka panjang yaitu, 10-20 tahun, merokok:
1-10 batang / hari meningkatkan resiko 15 kali
20-30 batang / hari meningkatkan resiko 40-50 kali
40-50 batang /hari meningkatkan resiko 70-80 kali.

Pengaruh Industri

Yang paling banyak dihubungkan dengan karsinogenik adalah asbestos, yang dinyatakan meningkatkan resiko kanker 6-10 kali. Menyusul kemudian industri bahan-bahan radioaktif, penambang uramium mempunyai resiko 4 kali populasi pada umumnya. Paparan industri ini baru nampak pengaruhnya setalah 15-20 tahun.

Pengaruh Penyakit Lain

Tuberkulosi paru banyak dikaitkan sebagai faktor predisposisi karsinoma brinkogenik, melalui mekanisme hyperplasi – metaplasi - karsinoma insitu-karsinoma - bronkogenik sebagai akibat adanya jaringan parut tuberkulosis.

Pengaruh Genetik dan Status imunologis

Pada tahun 1954, Tokuhotu dapat membuktikan adanya pengaruh keturunan yang terlepas daripada faktor paparan lingkungan, hal ini membuka pendapat bahwa karsinoma bronkogenik dapat diturunkan. Penelitian akhir-akhir ini condong bahwa faktor yang terlibat dengan enzim Aryl Hidrokarbon Hidroksilase (AHH). Status immonologis penderita yang dipantau dari cellular mediated menunjukan adanya korelasi antara derajat deferensiasi sel, stadia penyakit, tanggapan terhadap pengobatan serta prognosis. Penderita yang energi umumnya tidak memberikan tanggapan terhadap pengobatan dan lebih cepat meninggal.

Klasifikasi berdasarkan histopatologi dengan menggunakan mikroskop cahaya biasa (WHO, 1977).

1. Karsinoma epidermois (Karsinoma Sel Skuamos).
2. Adeno Karsinoma
3. Small cell undiferentiated carcinoma (oat cell)
4. Large cell undeferentiated carcinoma.


4. Pemeriksaan Penunjang :
 a. Radiologi
 1). Massa Radiopaque di paru
 2). Obstruksi jalan nafas dengan akibat atelektasis
 3). Pneumonia
 4). Pembesaran Kelenjar Hilar
 5). Tumor Pancoast.Ca. Bronchogenik yang terdapat disuperior pulmonary sulcus, pada apek lobus superior.
 6). Kelainan pada pleura
 7). Kelainan tulang
     b. Bronkografi
Adapun gambaran bronkografi yang dianggap patognomonik adalah obstruksi stenosis irreguler, stenosis ekor tikus dan indentasi cap jempol.
c.  Sitologi
Dahak yang representatif dapat diperoleh melalui batuk spontan, dengan bantuan aerosol ( 20% propylene glycol dalam larutan 10% NaCl. Dihangatkan sampai kurang lebih 45-50 C.)atau melalui bilasan/sikatan aspirasi bronkial.Tatalaksana pada Lung Cancer Detection Program di New York adalah sbb. Saliva dan post nasal discharge dikeluarkan dahulu, lalu penderita disuruh batuk dalam , dahak yang dihasilkan segera difiksasi, kesemuanya ini dilakukan pada 3 hari berturut-turut, sebaiknya pada pagi hari.
d. Endoskopi
Meliputi pemeriksaan laringoskopi dan bronkoskopi serta bilasan bronkial, kerokan/sikatan serta biopsi. Tujuan pemeriksaan bronkoskopi ( serat optik ) adalah :
    1.Mengetahui perubahan pada bronkus akibat kanker paru.
    2.Mengambil bahan untuk pemeriksaan sitologis.
    3.Memperhatikan perubahan pada permukaan tumor/mukosa untuk   
       memperkirakan jenis keganasan.
        4.Menilai keberhasilan terapi.
        5.Menentukan operbilitas kanker paru.
e.  Biopsi
Bahan biopsi dapat diperoleh melalui cara biopsi perkutaneus transbronkial ataupun open biopsi. Sedangkan bahannya dapat berupa jaringan kelenjar regional jaringan pleura ataupun jaringan paru.

5. Klasifikasi Pentahapan Klinik ( clinical Staging )
Berdasarkan TNM.
T= Tumor  : N. : Nodul, yaitu kelenjar limfe     M. : Metastase
1.         T : T-0 : Tidak tampak tumor primer
T-1 : Diameter tumor kurang dari 3 cm. Tanpa invasi ke Bronkus
T-2 : Diameter tumor lebih dari 3 cm. Dapat disertai atelektasis atau pneumonitis ,  
         namun berjarak lebih dari 2 Cm. Dari Karina, serta belum adaefusi pleura.
T-3 : Tumor ukuran besar dengan tanda invasi ke sekitar ( dinding toraks ,
         diafragma atau mediatinum )atau sudah berada dekat karina disertai efusi
         pleura.
         N : N-0 : Tidak didapatkan penjalaran ke kelenjar limfe regional.
         N-1  : Terdapat penjalaran ke kelenjar limfe hilus ipsilateral.
         N-2  :  Terdapat penjalaran ke kelenjar limfemediastinum atau kontralateral
         N-3  :  Terdapat penjalaran ke kelenjar limfe ekstratorakal.
          M. M-0 :  Tidak terdapat metastase jauh.
         M-1 :  Sudah terdapat metastae jauh ke organ-organ lain.


Berdasarkan TNM. Disusun pentahapan klinik sebagai berikut :
a. Karsinoma insitu : T-0, N-0, M-0 , namun sitologi sputum positif untuk sel   
ganas.
a.         Tahap I.  T-1, N-0, M-0, atau T-2, N-0, M-0
b.         Tahap II. T-2, N-1,,M-0.
c.         Tahap III: bila sudah terdapat T-3, N-2, atau M-1.

6. Pengkajian :
a.         Aktivitas/istirahat.: Kelemahan, ketidakmampuan, mempertahankan kebiasaan rutin, dispnoe karena aktivitas , kelesuan biasanya tahap lanjut.
b.        Sirkulasi Peningkaran Vena Jugulari, Bunyi jantung: gesekan perikordial ( menujukan efusi ) tachicardia?disritmia, jari tabuh.
c.         Integritas Ego. : Ansietas, takut akan kematian, menolak kondisi yang berat, gelisah, insomnia, pertanyan yang diulang-ulang.
d.        Eliminasi ; Diare yang hilang timbul ( ketidakseimbngan hormonal,)Peningkatan frekuesnsi/jumlah urine ( Ketidakseimbngan Hormonal ).
e.         Makanan/cairan : Penurunan Berat badan, nafsu makan buruk, penurunan masukan makanan, kesulitan menelan, haus/peningkatan masukan cairan
       Kurus, kerempeng, atau penampilan kurang bobot ( tahap lanjut 0, Edema  wajah, periorbital ( ketidakseimbangan hormonal ), Glukosa dalam urine .
f.         Ketidaknyamanan/nyeri: nyeri dada, dimana tidak/dapat dipengaruhi oleh perubahan posisi.Nyeri bahu/tangan, nyeri tulang/sendi, erosi kartilago sekunder terhadap peningkatan hormon pertumbuhan.Nyeri abdomen hilang/timbul
g.        Pernafasan : Batuk ringan atau perubahan pola batuk dari biasanya , peningkatan produksi sputum, nafas pendek, pekerja terpapar bahan karsinogenik, serak, paralisis pita suara, dan riwayat merokok.Dsipnoe, meni gfkat dengan kerja, peningkatan fremitus taktil, krekels/mengi pada inspirasi atau ekspirasi ( ganguan aliran udara ). Krekels/mengi yang menetap penyimpangan trakeal( area yang mengalami lesi ) Hemoptisis.
h.        Keamanan : Demam,  mungkin ada/tidak, kemerahan, kulit pucat.
i.          Seksualitas : Ginekomastia, amenorea, atau impoten.
j.          Penyuluhan/pembelajaran : Faktor resiko keluarga, : adanya riwayat kanker paru, TBC. Kegagalan untuk membaik.


7. Diagnosa Keperawatan yang muncul adalah :
a.         Bersihan jalan nafas tidak efektif, b/d peningkatan jumlah/perubahan mukus /viskositas sekret, keterbatasan gerakan dada, /nyeri, kelemahan,kelelahan.
b.        Nyeri akut b/d invasi kanker ke pleura, dinding dada.
c.         Pola pernafasan tidak efektif b/d obstruksi trakeobronkialoleh sekret, perdarahan aktif, penurunan ekspansi paru, proses inflamsi.
d.        Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan aliran udara ke alveoli  atau ke bagian utama paru, perubahan membran alveoli ( atelektasis , edema paru , efusi, sekeresi berlebihan,/perdarahan aktif.
e.         Ansietas b/d ketakutan /ancaman akan kematian , tindakan diagnostik, penyakit kronis.
f.         Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d  intake inadekuat, peningkatan metabolisme, proses keganasan.
g.        Gangguan body image b/d perubahan struktur tubuh.

8. Perencanaan Keperawatan                      

Diagnosa

Tujuan-Kriteria

Intervensi

Rasional

1.Bersihan Jalan nafas tidak efektif b/d peninjkatan jumlah/viskositas sekret, keterbatasan gerakan dada/nyeri, kelemahan/kelelahan.
Bersihan jalan nafas efektif.
Kriteria ;
a.       Menunjukan potensi jalan nafas.
b.      Cairan sekret mudah dikeluarkan/dibatukan.
c.       Bunyi nafas jelas.
d.      Whezing(-)/berkurang
1.      Auskultasi bunyi dada, untuk karakter bunyi nafas dan adanya sekret.


2.      Bantu untuk nafas dalam efektif anjurkan batuk dengan posisi duduk.
3.      Observasi jumlah dan karakter sputum/aspirasi sekret.
4.      Lakukan penghisapan dengan menggunakan suction. Bila klien tidak dapat batuk.
5.      Dorong masukan cairan/oral sedikitnya 2500 CC/hari dalam toleransi jantung.
6.      Kolaborasi : Berikan/bantu dengan IPBB , spirometri, meniup botol
7.      Gunakan oksigen humidifikasi/nebulizer ultrasonik . Berikan cairan tambahan melalui IV sesuai indikasi.
8.      Berikan bronkodilator, ekspektoran, atau analgetik sesuai indikasi.
Pernafasan bising, ronki, mengi menunjukan tertahannya sekret/obstruksi jalan nafas
Posisi duduk memungkinkan ekspansi paru maksinal, upaya batuk untuk membuang sekret..
Perubahan sekret menunjukan progresifitas penyakit.

Penghisapan dapat merangsang batuk efektif.


Hidrasio adekuat untuk mempertahankan sekret hilang/peningkatan pengeluaran.

Memudahkan pembuangan sekret.



Memberikan hidrasi maksimal/pengenceran sekret untuk meningkatkan pengeluaran

Menghilangkan spasme bronkus untuk memperbaiki aliran udara. Ekspektoiran meningkatkan produksi mu.kus untuk mengencerkan sekret.
2.Kerusakan  pertukaran gas b/d gg. Aliran udata ke alveoli, perubahan membran alveolar kapiler ( atelektasis, oedema paru, efusi, sekresi berlebihan, perdarahan aktif )
Pertukaran gas efektif.
Kriteria :
GDA dalam batas normal,. Mebubjukan ventilasi adekuat
Menunjukan oksigenasi adekuat.
Menunjukan perbaikan distress pernafasan.
Catat frekluensi dan kedalaman pernafasan , penggunaan otot bantu dan nafas bibir.
Auskultasi paru untuk penurunan bunyi nafas dan adanya bunyi tambahan krekels.

Observasi ferfusi  daerah akral dan sianosis ( daun telinga, bibir, lidah dan membran lidah )
Lakukan tindakan untuk memperbaiki jalan nafas.




Tinggikan kepala/tempat tidur sesuai dengan kebutuhan.

Awasi tanda vital




Kaji tingkat kesadaran





Kaji toleransi aktivitas.






Kolaborasi:
Awasi seri GDA.




Berikan oksigen dengan metoda yang tepat.

Takhi[pnoe dan dispnoe menyertai obstruksi paru.

Area yang tak terventilasi dapat diidentifikasikan  dengan tak adanya bunyi nafas.
Menunjukan hipoksemia sistemik.



Jalan nafas lengket/kolaps menurunkan jumlah alveoli yang berfungsi
Secara negatif mempengaruhi pertukaran gas.
Meningkatkan ekspansi dada maksimal, membuat mudah bernafas meningkatkan kenyamanan.
Tahkikardi/takhipnoe, dan perubahan pada TD. Terjadi seirng dengan perubahan asidosis.
Hipoksemia sistemik dapat ditunjukan pertamakali oleh gelisah dan rangsang disertai penurunan kesadaran.
Hipoksemia menurunkan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas tanpa dispnoea berat, takikardia dan disritmia.

Hipoksemia ada pada berbagai derajattergantung pada jumlah obstruksi jalan nafas. 
Memaksimalkan sediaan oksigen untuk pertukaran gas .
3.Pola nafas tidak efektif b/d obstruksi trakeobronkial  oleh bekuan darah, sekret banyak ,peradarahan aktif, penurunan ekspansi paru, proses inflamsi.
Pola nafas efektif.
Kriteria :
Frekuensi nafas dalam rentang normal
Suara paru jelas dan bersih.
Berpartisipasi dalam aktivitas.
Kaji frekuensi , kedalaman pernafasan dan ekspansi dada., catat upaya pernafasan ( penggunaan otot bantu pernafasan )
Auskultasi bunyi nafas, dan catat adanya bunyi nafas.
Observasi pola batuk dan karakter sekret

Dorong dalam nafas dalam.dan latihan batuk.
Kolaborasi:
Berikan oksigen tambahan.


Berikan humidifikasi tambahan.



Bantu fisioterapi dada.



Siapkan/bantu bronkoskopi
Kedalamam pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas., ekspansi pada terbatas terjadi pada atelektasis.

Perubahan bunyi nafas menunjukan obstruksi sekunder.
Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering/iritatif
Meningktkan banyaknya sputum.


Memaksimalkan pernafasan dan menurunkan kerja nafas.
Memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran sekret.
Memudahkan upaya pernafasan dalam. Meningktkan drainase sekret.
Kadang=kadang berguna untuk membuang bekuan darah, sekret serta membersihkan jalan nafas.
4.Nyeri b/d. invasi kanker ke pleura, atau dinding dada.
Nyeri   hilang/ berkurang
Kriteria
:Klien nampak rileks.
Kliuen dapat tidur.
Berpartisi dalam aktivitas.
Tanyakan pasien tentang nyeri, Tentukan karaktersitik nyeri


Kaji  pernyataan verbal dan non verbal nyeri pasien.

Evaluasi keefektifan pemberian obat
Berikan tindakan kenyamanan, ubah posisi, pijatan punggung dll.
Berikan lingkungan tenang.
Kolaborasi: Berikan analgesik rutin s/d indikasi..
Membantu dalam evaluasi gejala nyeri kanker yang dapat melibatkan visera, saraf atau jaringan tulang
Ketidaksesuaian antara verbal dan non verbal menunjukan.derajat nyeri
Memberikan obat berdasarkan aturan.
Meningkatkan relaksasi dan pengalihan perhatian..

Penurunan stress, menghemat energi
Mempertahankan kadar obat, menghindari puncak periode nyeri..
5.Ansietas b/d ancaman kematian, proses keganasan.
Ansietas hilang/ berkurang
Kriteria
Klien tampak rileks
Klien dapat beristirahat.
Dapat bekerjasama dalam terapi.:
Evaluasi tingkat pemahaman pasien/orang terdekat tentang diagnosa.

Akui rasa takut,  masalah pasien, dan dorong mengekspresikan perasaan.
Kolaborasi :
Libatkan pasien/orang terdekat dalam perencanaan keperawatan

Pemahaman persepsi melibatkan susunan tekanan  perawatan individu dan memberikan informasi.
Memberi waktu untuk mengidentifikasi perasaan.



Dapat memperbaiki perasaan kontrol.
6.Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake kurang, peningkatan metabolisme, proses keganasan.
Nutrisi terpenuhi.
Kriteria :
Menunjukan perubahan beratbadan.
Menunjukan perubahan pola makan.
Hb. Albumin dalam rentang normal.
Catat ststus nutrisi pasien pada penerimaan, catat turgor kulit, berat badan dan derajat kekurangan berat badan
Pastikan pola diet pasien yang disukai/tidak disukai

Awasi pemasukan/pengeluaran dan berat badan secara periodik
Selidiki mual, muntah, anoreksia dan catat kemungkinan hubungannya dengan obat
Berikan periode istirahat sering.


Berikan perawatan mulut, sebelum dan sesudah tindakan pernafasan.
Berikan Diet TKTP.

Kolaborasi :
Rujuk ke ahli diet
Awasi pemeriksaan lab. ( BUN, protein serum, albumin Hb.)
Bila perlu berikan nutrisi parenteral.  .
Berguna dalam mengidentifikasi derajat kurang nutrisi dan menentukan pilihan intervensi.

Pertimbangan keinginan individu dapat memperbaiki masukan diet.
Mengukur kefektifan nutrisi dan dukungan cairan.

Mencari pemecahan masalah, untuk meningkatkan pemasukan nutrien.

Membantu menghemat energi., khususnya bila kebutuhan metabolik meningkat
Menurunkan perasaan tak enak, bekas sputum, obatmerangsang pusat muntah..
Memaksimalkan masukan nutrisi..


Nilai rendah menunjukan malnutrisi

Meningkatkan masukan nutrisi adekuat.

Daftar Pustaka

Amin muhammad, Hood Alsagaff, 1989, Pengantar Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press, Surabaya.

Blac,MJ Jacob., 1993, l.uckman & Sorensen’s Medical surgical Nursing A Phsycopsicologyc Approach, W.B. Saunders Company, Philapidelpia.

Barbara Engram., 1999,  Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 1, Penerbit EGC, Jakarta.

Carpenito, L.J., 1999, Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Edisi. 2, EGC Jakarta.

Corwin E., 2001, Patofisiologi, Cetakan I, EGC, Jakarta


Mansjoer, Arif., et all., 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius Jakarta.

Marylin E doengoes., 2000, Rencana Asuhan keperawatan Pedoman untuk Perencnaan /pendokumentasian Perawatan Pasien, EGC,Jakarta.

Soeparman, Sarwono Waspadji, 1990, Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

laporan pendahuluan epilepsi


ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN EPILEPSI

Oleh : Azharie, Skep, Ns



PENDAHULUAN

Epilepsi atau penyakit ayan dikenal sebagai satu penyakit tertua di dunia (2000 tahun SM). Penyakit ini cukup sering dijumpai dan bersifat menahun. Penderita akan menderita selama bertahun-tahun. Sekitar 0,5 – 1 % dari penduduk adalah penderita epilepsy (Lumbantobing, 1998).


DEFINISI

Bangkitan epilepsy adalah manifestasi gangguan otak dengan berbagai gejala klinis, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik dari neuron-neuron otak secara berlebihan dan berkala tetapi reversible dengan bernagai etiologi (Tjahjadi, dkk, 1996).

Epilepsy adalah kompleks gejala dari beberapa kelainan fungsi otak yang ditandai dengan terjadinya kejang secara berulang. Dapat berkaitan dengan kehilangan kesadaran, gerakan yang berlebihan, atau kehilangan tonus atau gerakan otot, dan gangguan prilaku suasana hati, sensasi dan persepsi (Brunner dan suddarth, 2000).

Kejang adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang besifat sementara. Istilah epilepsy biasanya merupakan suatu kelaianan yang bersifat kronik yang timbul sebagai suatu bentuk kejang berulang (Hudak dan Gallo, 1996).

ETIOLOGI

Tumor otak                                                                Trauma otak (5-50%)
Bekuan darah pada otak                                        Meningitis
Gangguan elektrolit                                                 Ensefalitis
Gejala putus alcohol/obat                                      Gangguan metabolic
Toksik substans                                                       Anoksia cerebral
Sebagian kejang merupakan idiopatik

PRINSIP-PRINSIP PATOFISIOLOGI

Mekanisme yang pasti dari aktivitas kejang pada otak tidak semuanya dapat dipahami. Beberapa pemicu menyebabkan letupan abnormal mendadak stimulasi listrik, menganggu konduksi syaraf normal otak. Pada otak yang tidak rentan terhadap kejang, terdapat keseimbangan antar sinaptik eksitatori dan inhibitori yang mempengaruhi neuron postsinaptik. Pada otak yang rentan terhadap kejang, keseimbangan ini mengalami gangguan, menyebabkan pola ketidakseimbangan konduksi listrik yang disebut perpindahan depolarisasi paroksismal. Perpindahan ini dapat terlihat baik ketika terdapat pengaruh eksitatori yang berlebihan atau pengaruh inhibitori yang tidak mencukupi (Hudak dan Gallo, 1996).

Ketidakseimbangan asetilkolin dan GABA. Asetilkolin dalam jumlah yang berlebihan menimbulkan bangkitan kejang, sedangkan GABA menurunkan eksitabilitas dan menekan timbulnya kejang.


KLASIFIKASI INTERNASIONAL TENTANG KEJANG EPILEPSI

(dikutip dari Hudak dan Gallo, 1996)

I.          Kejang Parsial
a.    Parsial sederhana (kesadaran klien baik)
1.    Motorik
2.    Sensorik
3.    Otonimi
4.    Fisik
b.    Parsial kompleks (kerusakan kesadaran)
1.    Parsial sederhana diikuti penurunan kesadaran
2.    Kerusakan kesadaran saat awitan
c.    Kejang parsial generalisasi sekunder
II.        Kejang Umum
a.    Non kejang
b.    Tonik-klonik umum
c.    Tonik
d.    Klonik
e.    Mioklonik
f.     Atonik
III.       Kejang Tidak terklasifikasi


MANIFESTASI KLINIK


Kejang Parsial Sederhana

Hanya jari atau tangan yang bergetar; atau mulut yang bergerenyut tak terkontrol; bicara tidak dapat dimengerti; mungkin pening; dapat mengalami perubahan penglihatan, suara, bau atau pengecapan yang tak lazim atau tak menyenangkan.

Kejang Parsial Kompleks

Masih dalam keadaan sedikit bergerak atau gerakan secara otomatis tetapi tidak bertujuan; dapat mengalami perubahan emosi, ketakutan, marah, kegirangan, atau peka rangsang yang berlebihan; tidak mengingat periode tersebut ketika sudah berlalu.



Kejang Umum (kejang grand Mal)
Mengenai kedua hemisfer otak, kekuatan yang kuat dari seluruh tubuh diikuti dengan perubahan kedutan dari relaksasi otot dan kontraksi (kontraksi tonik klonik umum)

FASE SERANGAN KEJANG
1.    Fase Prodromal
Beberapa jam/hari  sebelum seranga kejang. Berupa perubahan alam rasa (mood), tingkah laku

2.    Fase Aura
Merupakan fase awal munculnya serangan. Berupa gangguan perasaan, pendengaran, penglihatan, halusinasi, reaksi emosi afektif yang tidak menentu.

3.    Fase Iktal
Merupakan fase serangan kejang, disertai gangguan muskuloskletal.
Tanda lain : hipertensi, nadi meningkat, cyanosis, tekanan vu meningkat, tonus spinkter ani meningkat, tubuh rigid-tegang-kaku, dilatasi pupil, stridor, hipersalivasi, lidah resiko tergigit, kesadaran menurun.

4.    Fase Post Iktal
Merupakan fase setelah serangan. Ditandai dengan : confuse lama, lemah, sakit kepala, nyeri otot, tidur lama, amnesia retrograd, mual, isolasi diri.

STATUS EPILEPTIKUS
Serangan kejang yang terjadi berulang, merupakan keadaan darurat. Berakibat kerusakan otak permanen, dapat disebabkan karena : peningkatan suhu yang tinggi, penghentian obat epileptik, kurang tidur, intoksikasi obat, trauma otak, infeksi otak.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.    Elektroensefalografi (EEG) membentu dalam mengklasifikasikan tipe kejang.
2.    CT Scan untuk mendeteksi lesi, abnormalitas fokal, abnormalitas vaskuler cerebral, dan perubahan degeneratif serebral.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan epilepsy direncanakan sesuai dengan program jangka panjang dan dibuat untuk memenuhi kebutuhan khusus masing-masing klien.

Tujuan dari pengobatan adalah untuk menghentikan kejang sesegera mungkin, untuk menjamin oksigenasi serebral yang adekuat, dan untuk mempertahankan klien dalam status bebas kejang.

Pengobatan Farmakologis
1.    Pengobatan biasanya dimulai dengan dosis tunggal.
2.    Pengobatan anti konvulsan utama termasuk karbamazepin, primidon, fenitoin, fenobarbital, etosuksimidin, dan valproate.
3.    Lakukan pemeriksaan fisik secara periodic dan pemeriksaan laboratorium untuk klien yang mendapatkan obat yang diketahui mempunyai efek samping toksik.
4.    Cegah terjadinya hiperplasi gingival dengan hygiene oral yang menyeluruh, perawatan gigi teratur, dan masase gusi teratur untuk klien yang mendapatkan fenitoin (Dilantin).


Pembedahan
1.    Diindikasikan bila epilepsy diakibatkan oleh tumuor intrakranial, abses, kista, atau anomaly vaskuler.
2.    Pengangkatan secara pembedahan pada focus epileptogenik dilakukan untuk kejang yang berasal dari area otak yang terkelilingi dengan baik yang dapat dieksisi tanpa menghasilkan kelainan neurologis yang signifikan.

PROSES KEPERAWATAN
Pengkajian
1.    Riwayat kesehatan yang berhubungan dengan factor resiko bio-psiko-sosial-spiritual.
Data subyektif : usia mulai mengalami sreanga, frekuensi serangan, factor presipitasi (suhu tinggi, kurang tidur, keadaan emosional labil), pernah mengalami skit berta yang disertai kejang. Pernah sakit cedera otak, operasi otak. Pernah minum obat tertentu/alcohol. Ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga.

2.    Aktifitas/Istirahat
Data subyektif : keadaan umum yang lemah, lelah, menyatakan keterbatasan aktifitas, tidak dapat merawat diri sendiri.

Data obyektif : menurunnya kekuatan otot/otot lemah.

3.    Peredaran darah
Data obyektif : didapat data pada saat serangan : hipertensi, denyut nadi meningkat, cyanosis. Setelah serangan tanda vital mungkin normal atau mungkin disertai nadi dan pernafasan menurun.

4.    Eliminasi
Data subyektif : tidak dapat menahan BAB dan BAK

Data obyektif : saat serangan tekanan VU dan otot spinkter meningkat. Setelah serangan dalam keadaan inikontinensia otot-otot VU dan spinkter rileks.

5.    Makanan/cairan
Data subyektif : selama serangan makanan sangat sensitive

Data obyektif : gigi/gusi mengalami kerusakan selama serangan, gusi hiperplasi/bengkak akibat samping obat dilantin.

6.    Persyarafan
Data subyektif : selama serangan ada riwayat nyeri kepala, kehilngankesadaran/pingsan, kehilangan kesadaran sesaat/lena, klien menangis, jatuh ke lantai, disertai komponen motorik seperti kejang tonik-klonik, mioklonik, tonik, klonik, atonik. Klien menggigit lidat, mulut berbuih, ada inkontinensia urin dan feces, bibir-muka berubah warna/cyanosis
     
Sesudah serangan : klien mengalami letargi, bingung, nyeri otot, gangguan bicara, nyeri kepala. Ada perubahan gerakan seperti hemiplegi sementara, klien ingat/tidak ingat kejadian yang menimpanya. Terjadi/tidak terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernafasan, dan denyut nadi.
     
7.    Konsep diri
Data subyektif : merasa rendah diri, ketidak berdayaan, tidak mempunyai harapan.

Data obyektif : selalu waspada/berhati-hati dalam hubungan dengan orang lain.

8.    Interaksi social
Data subyektif : mengalami gangguan interaksi dengan orang lain/keluarga karena malu.

Diagnosa dan Rencana Keperawatan
1.    Resiko cedera s.d perubahan kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang atau kerusakan mekanisme perlindungan diri.

Tujuan keperawatan :
Klien terbebas dari resiko cedera fisik.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    
Intervensi :
a.     Bersama klien mengidentifikasi factor yang dapat menyebabkan serangan tiba-tiba.
b.     Bila serangan tidak terjadi di tempat tidur letakkan bantal di bawah kepala klien atau letakkan kepala klien di pangkuan perawat untuk mencegah supaya kepala tidak terbentur ke lantai.
c.     Bila klien mengalami aura, ajarkan klien untuk berbaring sebelum kejang terjadi untuk mencegah jatuh.
d.     Observasi tanda vital, gunakan terkmometer aksila.
e.     Dampingi klien saat serangan berlangsung untuk mencegah bahaya luka fisik, aspirasi, lidah tergigit.
f.      Miringkan kepala untuk mencegah aspirasi.
g.     Pertahankan patensi jalan nafas atau pasang spatel lidah selama kejang jika dapat dipasang dengan aman sebelum rahang mengatup.
h.    Hindarkan alat-alat yang mebahayakan.
i.      Longgarkan pakaian yang sempit dan taha ekstrimitas.
j.       Berikan O2 tambahan selama dan setelah kejang.
k.     Pertahankan aliran dan selang-selang selama aktifitas kejang karena akses IV adalah kritis.
l.      Catat aktifitas motorik dan status keadaan umum klien selama kejang.

Tindakan kolaboratif :
a.    Berikan obat-obatan sesuai program, missal anti epileptik, luminal, diazepam, glucose, thiamine, dll
b.    Monitor dan catat efek samping obat.
c.    Monitor tingkat keseimbangan elektrolit, glucose.


2.    Resiko jalan nafas tidak efektif/resiko pola nafas tidak efektif s.d sumbatan trachebroncheal, menurunnya kesadaran.

Tujuan Keperawatan :
Jalan nafas/pola nafas efektif, tidak terjadi aspirasi.

Intervensi ;
a.    Bila klien tak sadar, jaga agar jalan nafas tetap lancar dan terbuka. Observasi tanda vital, agar nutrisi/cairan dan elektrolit tetap seimbang, bila perlu beri infus.
b.    Bila terdapat lendir pada jalan nafas, lakukan suction.
c.    Miringkan kepala untuk mencegah aspirasi.
d.    Berikan O2 tambahan sesuai program.


3.    Gangguan konsep diri  : harga diri rendah s.d  menderita epilepsy, tidak bisa mengontrol diri saat serangan kejang terjadi.


Tujuan Keperawatan :
Klien dapat mengidentifikasi perasaan, pola koping yang posistif/negatif. Secara verbal mempunyai harga diri meningkat. Menerima keadaan dirinya dan perubahan fungsi-peran-gaya hidup yang dihadapi.

Intervensi ;
a.    Diskusikan tentang perasaan klien.
b.    Dorong klien untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya.
c.    Kaji kemampuan klien yang positif sesuai dengan keadaan sehingga dapat memanfaatkan kemampuan tersebut untuk meningkatkan harga diri klien dan dapat hidup di masyarakat.

Tindakan kolaboratif :
a.    bila perlu anjurkan klien untuk mengikuti kelompok penderita epilepsy.
b.    Diskusikan dengan psychoterapist bila perlu tentang keadaan klien.

4.    Kurang pengetahuan s.d kebutuhan penatalaksanaan  penyakit secara mandiri.

Tujuan Keperawatan :
a.    Klien mengungkapkan pemahaman tentang diagnosa, pengobatan, rencana pengobatan, dan tindakan pengamanan.
b.    Klien/keluarga akan mengungkapkan apa yang dilakukan jika klien mengalami kejang.
c.    Klien akan menyadari dari mana sumber-sumber informasi dan dukungan selanjutnya dapat diperoleh.

Intervensi ;
a.    Kaji keadaan patologis/kondisi klien dan pengobatan yang pernah didapat klien.
b.    Berikan informasi (verbal/tulisan) tentang keadaan klien dan regimen terapi.
c.    Diskusikan tentang pentingnya kontrol dan minum obat secara teratur.
d.    Jelaskan pada klien tentang keadaan yang sedang dihadapi klien dan factor-faktor yang da[pat menimbulkan serangan.
e.    Jelaskan keadaan yang aharus dihadapi terhadap keadaannya, seperti pekerjaan, mengendarai mobil, olah raga dan rekreasi.
f.     Anjurkan klien untuk selalu membawatanda pengenal bila bepergian.
g.    Perbaiki kesalahan persepsi tentang penyakit.
h.    Validasi pemahaman klien/keluarga tentang hal-hal yang ada.